Sumsel Merdeka – Palembang, Mantan Gubernur Sumatera Selatan periode 2008 – 2018, Alex Noerdin, mengungkap kisah di balik pembongkaran Pasar Cinde Palembang yang sempat menuai polemik.
Penjelasan ini disampaikannya usai menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel sebagai saksi, Senin 21 April 2025 malam.
Alex menjelaskan, pembongkaran Pasar Cinde bukan keputusan yang instan, melainkan didasari melalui kajian teknis terkait kondisi bangunan yang dinilai sudah sangat rapuh.
“Bangunannya sudah tidak layak. Jika terjadi getaran atau gempa, bangunan itu bisa roboh. Karena itu harus segera dikosongkan dan dibongkar,” jelasnya.
Ia menuturkan, sebelum dilakukan revitalisasi, Walikota Palembang saat itu telah mengirimkan surat resmi kepada dirinya sebagai Gubernur, menyetujui rencana revitalisasi dengan satu catatan penting.
“Pasar boleh dibangun ulang, tapi bagian depannya tidak boleh diubah,” tegas Alex.
Namun, proses pembangunan kembali Pasar Cinde menghadapi sejumlah kendala, terutama dalam hal pendanaan.
Menurut Alex, APBD Sumsel tidak mencukupi untuk membiayai proyek sebesar itu, sehingga dibutuhkan sumber dana lain, baik dari APBN, penyertaan modal pemerintah pusat, maupun swasta.
“Saya waktu itu memikirkan cara agar kita bisa dapat bantuan dari luar APBD. Salah satunya lewat penyelenggaraan event-event besar,” kata Alex.
Dengan adanya berbagai perhelatan nasional dan internasional seperti Asian Games, Islamic Solidarity Games, hingga Asian University Games, Sumsel berhasil mendapatkan bantuan pembangunan senilai Rp 90 triliun dalam kurun tiga tahun.
Namun, bantuan tersebut tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, melainkan berupa pembangunan infrastruktur, seperti 3 ruas jalan tol, fly over, jembatan, underpass, hingga renovasi bandara.
Selain itu, Pemprov Sumsel juga menerapkan skema Build Operate Transfer (BOT) untuk mengelola lahan Pasar Cinde.
Dalam sistem ini, lahan milik pemerintah dikelola oleh pihak ketiga dalam jangka waktu tertentu sebelum dikembalikan kepada Pemprov.
“Selama masa pengelolaan, tetap ada kontribusi yang diberikan kepada pemerintah daerah,” terangnya.
Namun, proses pembongkaran Pasar Cinde menuai protes dari sejumlah pihak karena dianggap melanggar status cagar budaya.
Terkait hal ini, Alex menjelaskan bahwa sempat terjadi pertemuan dengan Dirjen Kebudayaan dari Jakarta, Didit Aryanto, di Griya Agung.
Dari pertemuan itu, terungkap bahwa Pasar Cinde memang telah didaftarkan untuk menjadi cagar budaya, namun belum memiliki Surat Keputusan (SK) resmi.
“Dirjen menyampaikan, pasar itu memang sudah diregistrasi, tapi belum di-SK-kan karena walikota saat itu tidak punya kompetensi untuk menetapkannya sebagai cagar budaya,” jelas Alex.
Polemik revitalisasi Pasar Cinde hingga kini masih menyisakan berbagai pandangan, namun Alex menegaskan bahwa semua keputusan diambil berdasarkan kajian dan kebutuhan keselamatan masyarakat. (Eky/Ril*)